Rabu, 29 April 2009

Hukum Tentang Musik

Mengenai musik itu, saya ringkaskan saja, bahwa hukum musik itu terbagi dua, yaitu terikat alat musik dan terikat dengan syair yang diucapkannya.

I. hukum alat musik terbagi tiga :
1. Haram secara Mutlak yaitu Mizmar (seruling yang ada ditengahnya perut yang menggembung).
2. Halal secara Mutlak yaitu hadroh / rebana.
3. Khilaf / berbeda pendapat yaitu alat musik lainnya.

II. syair yang diucapkannya.
bila untaian lagunya itu menjurus pada maksiat maka haram hukumnya dengan alat musik apapun,

bila untaian lagunya menjurus pada kebaikan maka halal untuk selain menggunakan mizmar, dan ikhtilaf bila dengan alat musik lainnya, dan halal bila dengan hadroh.

mengenai Gitar maka sebagian besar ulama mengharamkannya karena alat musik petik. namun ada yg menghalalkannya walau sebagian kecil

selain gitar dan mizmar, seperti Organ, dlsb ikhtilaf para fuqaha dalam halal dan haramnya, ada yg menghalalkan ada yg mengharamkan,

(www.majelisrasulullah.org)



Read more...

AS Kembali Kehilangan Tokoh Muslimnya


Hassan Hathout telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan istri tercinta, Salonas, seorang anak perempuan, Eba, adik lelakinya, Maher, dua orang cucu, juga kita semua.

Umat Islam Amerika kembali kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Minggu 26 April lalu, Dr. Hassan Hathout, pemimpin komunitas muslim California, menghadap Sang Pencipta di rumahnya, Pasadena, California.

"Kami kehilangan seorang pemimpin Islam yang sangat berpengaruh bagi perkembangan Islam di Amerika, khususnya Amerika Utara," kata Dr. Muzammil Siddiqi, ketua Dewan Fiqh Amerika Utara, kepada Islamonline.

Dr. Hathout, yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, semasa hidupnya telah mengabdikan diri untuk Islam. Lebih dari tiga puluh tahun ia menyuarakan kebijaksanaan, kejernihan, dan kasih sayang antarsesama.

Bahkan, di sela-sela aktivitasnya sebagai anggota aktif WHO pada Komite Etika Reproduksi Manusia, ia juga terlihat dalam organisasi internasional ilmu kedokteran yang dirancang untuk mensosialisasikan etika medis melalui tuntunan Islam yang didirikannya sendiri.

Semasa hidupnya, Hassan, yang pernah mengajar ilmu obstetrik dan ginekologis di Kuwait, adalah sosok tokoh umat Islam yang sangat berpengaruh bagi perkembangan Islam di AS.

Dengan cepat, ia terlibat dalam kegiatan antarkeyakinan di Los Angeles bersama Rabi Beerman dan Pastur George Regas dari Gereja All Saints Episcopal di Pasadena. Ia mengorganisasikan layanan ibadah untuk muslim, umat Kristiani, dan Yahudi selama Perang Teluk pada 1991. 

Setelah Peristiwa WTC 11 September, ia semakin meningkatkan upaya menjembatani gap antara masyarakat AS dan umat Islam. Ia juga berbicara dalam acara Hari Masjid Terbuka, sebuah program yang diluncurkan pada 2002 silam, yang lebih dari dua lusin masjid di California Utara mengundang non-muslim dalam acara doa, perayaan, dan pembacaan sastra Islam di lingkungan masjid.

Pada acara tersebut, ia menekankan kepada pengunjung untuk untuk saling mengasihi.

"Ia memiliki hati yang luar biasa mulia," ujar Dr. Omar Alfi, seorang fisikawan dan mantan pemimpin pusat Islamic South California yang telah mengenal mendiang selama 60 tahun.

"Menurut Hassan, agama adalah cinta kasih. Manusia yang tidak mencintai sesamanya sama dengan tidak menghormati agamanya," kata Alfi mengenang.

Kini, Hassan Hathout telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan istri tercinta, Salonas, 56 tahun, seorang anak perempuan, Eba, adik lelakinya, Maher, dua orang cucu, dan kita semua. Jenazahnya dikebumikan pada hari hari yang sama, sekitar pukul 3 waktu setempat, di Pemakaman Rose Hills Memorial Park, 3888 Workman Mill Road, Whittier 90601, Los Angeles.

Semoga Allah memberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin. SEL, dari berbagai sumber

 


Read more...

Senin, 27 April 2009

Habib Muhammad Quraisy bin Mujtaba Alaydrus

Pelajar Dua Tanah Yaman

Awalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya dalam waktu dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah membawanya berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman.

Hingga kini, sudah cukup banyak pelajar dari Indonesia yang berkesempatan menimba ilmu di kota Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Dari sekian banyak pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di kota Tarim tersebut, hampir tidak pernah terdengar ada di antara mereka yang juga mendatangi kota Zabid, Yaman Utara, untuk tujuan yang sama. Padahal, kota Zabid juga terkenal sebagai kota pusat ilmu.

Seperti halnya Tarim, sejak dulu hingga saat ini, kota Zabid banyak melahirkan ulama-ulama besar. Hingga dikatakan bahwa Zabid adalah Tarimnya Yaman Utara. Adalah Habib Quraisy, atau lengkapnya adalah Habib Muhammad Quraisy bin Mujtaba Alaydrus, satu di antara sedikit sekali pelajar Indonesia yang pernah tercatat menimba ilmu di Rubath Zabid, setelah beberapa tahun sebelumnya berguru di Rubath Tarim, Hadhramaut.

Meski masih terbilang muda usia, perjalanan hidup Habib Quraisy, pemuda kelahiran Malang 31 Juli 1975, sarat dengan hikmah, terutama pada masa-masa belajarnya di kota Zabid, Yaman Utara tersebut. Saat ini, putera dari pasangan Habib Mujtaba bin Mushthafa Alaydrus dan Syarifah Maryam binti Muhammad Ba’bud ini dipercaya untuk melanjutkan majlis rauhah kakeknya, Habib Muhammad bin Husain Ba’bud, Lawang, Jawa Timur, yang sempat vakum cukup lama, yaitu sejak wafatnya Habib Muhammad sekitar lima belas tahun yang lalu.

Hikmah Sakitnya Sang Kakek

Beberapa tahun silam, sewaktu Habib Muhammad bin Husain Ba’bud sedang menjalani operasi prostat sekitar lima tahun sebelum tutup usia, isteri Habib Muhammad Ba’bud yang bernama Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih, berharap agar ada dari salah seorang cucunya yang mau menemaninya. Di antara para cucunya itu, Habib Quraisy, yang pada saat itu masih berusia sekitar 12 tahun, bersedia memenuhi keinginan sang nenek.

Habib Quraisy pun kemudian tidur di kamar Habib Muhammad, pada ranjang yang berbeda. Ternyata, kebiasaan itu terus berlanjut, bahkan setelah Habib Muhammad sembuh dari sakitnya. Quraisy kecil tetap tidur satu kamar dengan Habib Muhammad bin Husain Ba’bud dan isterinya, Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih. Praktis, sebagian besar waktu dari masa kecilnya, dihabiskannya bersama dengan Habib Muhammad.

Tinggal sehari-hari bersama dengan Habib Muhammad Ba’bud tentunya merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga. Ketimbang merasa sebagai cucu, ia sendiri akhirnya lebih merasa bagaikan anak dari Habib Muhammad. Sejak saat itu, Habib Quraisy kerap terlihat mendampingi Habib Muhammad pada majlis-majlisnya. Ia juga mulai mengikuti pelajaran-pelajaran di Darun Nasyi’ien, pondok pesantren yang didirikan dan diasuh oleh kakeknya tersebut.

Setelah kurang lebih sekitar lima tahun mendampingi sang kakek, pada tahun 1993, Habib Muhammad wafat. Sekitar satu tahun setelah wafatnya Habib Muhammad, Habib Quraisy yang kala itu mulai beranjak remaja meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau ke negeri seberang, Martapura, Kalimantan Selatan. Keberangkatannya ke Martapura kala itu ternyata menjadi awal langkah panjang perjalanannya dalam mengarungi pengembaraan keilmuannya di kemudian hari.

Paspornya tak Terpakai

Sekitar tahun 1994, ia mendengar kabar tentang Habib Umar Bin Hafidz yang mulai membuka pondok Darul Musthafa di Hadhramaut. Mendengar kabar itu, ia ingin sekali berangkat ke sana. Maka ia pun mulai mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk mengurus pembuatan paspor. Rupanya takdir Allah SWT berkata lain. Setelah paspornya sudah jadi, karena disebabkan faktor biaya dan faktor-faktor lainnya, ia tak kunjung berangkat.

Namun semangat kuat dalam dirinya untuk ingin mengaji, membawa langkah kakinya ke bumi Martapura. Ia sendiri sebenarnya menyadari bahwa pendidikan di Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien, tempatnya tumbuh besar selama ini, cukup bagus pula bagi dirinya. Akan tetapi karena pesantren tersebut ada dalam lingkungan keluarganya sendiri, ia khawatir dirinya tidak akan berusaha maksimal dalam menuntut ilmu.

Pada waktu itu, banyak santri Darun Nasyi’in yang berasal dari Banjar. Suatu hari terdengar kabar tentang rencana penyelenggaraan haul KH Anang Sya’rani Arif, seorang ulama besar di Martapura. KH Anang Sya’rani Arif adalah kawan seperguruan KH Syarwani Abdan, Tuan Guru Bangil. Saat itu, salah satu cucu KH Anang Sya’rani Arif yang merupakan santri pondok Darun Nasyi’in, mengajaknya untuk menghadiri acara haul tersebut.

Sesampainya di Martapura ia berjumpa dengan Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi, tokoh Alawiyyin di sana kala itu. Ia kemudian diajak shalat berjamaah bersama Habib Abubakar. Seusai shalat, Habib Abubakar yang saat ini berdomisili di Surabaya mengatakan kepadanya, “Ente semestinya jangan di sini, ente harus ke Tarim.” Demikian pesan Habib Abubakar kepadanya saat perjumpaannya pertama kali di Martapura pada waktu itu.

Memang, pada dasarnya dirinya pun berpikir seperti itu. Ia sendiri menyayangkan paspornya yang sudah jadi, tapi akhirnya tidak terpakai. Tapi ia sempat berpikir, insya Allah pintu untuk menuntut ilmu di Tarim harus melewati Martapura dulu. Setelah batal berangkat ke Tarim pada saat itu, maka daripada tidak pergi sama sekali, ia memutuskan lebih baik ia mengaji dulu di kota Martapura.

Pada awalnya, ia tidak bermaksud tinggal di rumah Habib Abubakar. Akan tetapi setelah pertemuan itu akhirnya ia hidup bersama Habib Abubakar selama enam bulan pertama keberadaannya di Martapura. Karena ingin mandiri, setelah enam bulan ia memutuskan untuk kos, dan tidak lagi tinggal serumah dengan Habib Abubakar.

Di Martapura, ia menaruh simpati pada cara mengajar Tuan Guru Zaini. Sekitar dua tahun lamanya ia melazimi majelis-majelisnya Guru Ijai, panggilan akrab Tuan Guru Zaini. Materi pengajaran Guru Ijai yang diikutinya, kebanyakan lebih menekankan pada aspek tashawuf. Meski sistem pengajaran Guru Ijai hanya seperti pada sebuah pengajian di majlis ta’lim, namun apa yang ia dapat dari pelajaran-pelajaran tashawuf yang disampaikan Guru Ijai itu dirasakannya sangat membekas pada dirinya.

Selain pada Guru Ijai, di sana ia juga sempat masuk Madrasah Darussalam, sebuah lembaga pendidikan agama terbesar (pondok pesantren dan madrasah) di Martapura yang didirikan oleh Tuan Guru Kasyful Anwar. Ia juga sempat belajar ilmu-ilmu alat (perangkat tata bahasa Arab) kepada Guru Syukri di rumahnya.

Lebih Banyak yang Tak Resmi

Habib Quraisy, yang saat ini telah dikarunia tiga putera bernama Muhammad, Ahmad, dan Husain dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Mas’adurridha binti Abdullah Al-Hamid, akhirnya pada tahun 1997 ditakdirkan juga berangkat ke Hadhramaut, sebagaimana yang telah menjadi impiannya selama ini. Keberangkatannya ini tak terlepas dari berkat doa kedua orang tuanya dan peran penting Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi yang membiayai keberangkatannya tersebut.

Dari Martapura, ia sempat menghubungi Habib Ali bin Muhammad Ba’bud, pamannya, untuk menyampaikan rencana kepergiannya. Saat itu Habib Ali mengatakan ia harus izin kepada guru tempat ia belajar selama ini, yaitu pada Guru Ijai. Sewaktu ia mengutarakan kepada Guru Ijai, Guru Ijai malah mengatakan bahwa ia harus meminta izin pada Habib Ali. Akhirnya, ia pun menganggap ini sebagai restu dari keduanya.

Sebelum terbang meninggalkan Indonesia menuju Hadhramaut, dari Martapura ia sempat pulang dulu ke Lawang untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya dan sanak keluarga lainnya. Sesampainya di Hadhramaut, ia masuk pada Rubath Tarim, asuhan Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri. Pada tahun pertama, pelajaran-pelajaran awalnya masih dibimbing oleh salah seorang santri senior yang berasal dari Banten, Indonesia. Ustadz Muhaimin, namanya.

Beberapa waktu kemudian, ia menjadi satu-satunya pelajar dari Indonesia yang memberanikan diri mengikuti halaqahnya Habib Hasan. Setiap hari bersama Habib Hasan, sekitar pukul sembilan pagi, ia mempelajari kitab At-Tanbih dalam fiqih dan kitab Ihya’ dalam tashawwuf. Sementara setiap hari Rabu dan Sabtu, ia menghadiri halaqah umum Habib Hasan di Rubath. Ia juga sempat mengkhatamkan kitab Bidayatul Hidayah pada Habib Hasan pada majlis rauhahnya setelah Ashar. Saat hendak mempelajari kitab itu, Habib Hasan memesankan kepadanya, pahami isi kitab tersebut dengan baik, kemudian amalkan apa saja yang ada di dalamnya.

Saat itu, ia bukanlah santri yang memiliki keistimewaan tersendiri hingga memberanikan diri mengikuti halaqahnya Habib Hasan seorang diri dari Indonesia. Mungkin kebanyakan santri dari Indonesia saat itu banyak yang sungkan untuk menghadiri halaqah tersebut, begitu pikirnya. Belakangan, setelah kepulangannya ke Indonesia, sejumlah santri Indonesia lainnya mengikuti jejaknya untuk mengikuti halaqah Habib Hasan di pagi hari tersebut.

Sekalipun ia sendiri merasa bekal ilmunya masih sedikit, namun kesan kuat dari pelajaran-pelajaran adab yang didapatnya sewaktu di Martapura, menimbulkan himmah tersendiri di dalam dirinya. Apalagi, ia juga memperhitungkan bahwa keberadaannya di sana tidak akan lama, yaitu hanya sekitar dua tahun saja. Karena itu ia ingin mempergunakan kesempatan berada di Hadhramaut dengan sebaik-baiknya.

Karena pertimbangan rencana waktu yang singkat itu, ia mensiasatinya dengan lebih mengejar faham di setiap pelajarannya dan tidak mengejar hafalannya. Di Rubath, pagi hari ia belajar ilmu Nahwu, sore dan malam hari ia belajar ilmu Fiqih dan beberapa materi lainnya. Berdasarkan petunjuk dari Habib Salim, di malam hari ia juga mendatangi beberapa ulama yang ada di sana. Sehingga ia cukup banyak memgikuti majelis-majelis ilmu di luar kurikulum Rubath itu sendiri.

Berdiri di Pintu Pabrik Roti

Suatu saat, Habib Salim pergi ke kota Madinah. Karena tujuannya mendatangi Rubath adalah secara intensif mengikuti pelajaran-pelajarannya Habib Salim, maka saat kepergian Habib Salim itu, ia berpikir untuk mencari kesempatan dengan mengisi waktu belajar di tempat lain. Ia pun akhirnya teringat dengan cerita-cerita Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi tentang kota Zabid. Nisbah Az-Zabidi di belakang nama Habib Abubakar sendiri memang dikarenakan dulu Habib Abubakar sempat menimba ilmu di kota Zabid tersebut. Habib Abubakar tampaknya bangga dengan kota Zabid itu, hingga dalam kitab Iqdul Yawaqit yang dicetaknya, ia menuliskan namanya dengan tambahan kata Az-Zabidi di belakang namanya. Ketika di Zubad, orang-orang di sana masih mengingat Habib Abubakar. Bahkan ia juga ditunjukkan kamar tempat Habib Abubakar tinggal dulu.

Maka bersama dua sahabatnya, yaitu Habib Abdul Qadir Alaydrus (dari Purwakarta) dan Musthafa Al-Hamid (dari Tanggul), ia memutuskan pergi ke kota Zabid, melalui kota Shan’a. Karena tidak mempunyai uang, maka uang tiket kepulangan ke Indonesia milik Habib Musthafa Al-Hamid dipinjamnya sebagai ongkos menuju kota Zabid. Sesampainya di sana, tidak seberapa lama, seluruh uang yang dipegang olehnya dan kedua sahabatnya tersebut pun habis. Karena himmahnya pada ilmu, kepergiannya ke Zabid memang dapat dikatakan lebih banyak nekatnya. Karena di Rubath Zabid itu, hanya dirinya dan kawannya sajalah pelajar yang berasal dari Indonesia. Tidak ada sanak saudara atau bahkan kawan seperguruan lainnya.

Setelah hampir sekitar dua bulan lamanya di Zabid, salah seorang sahabatnya, Habib Musthafa Al-Hamid, pulang terlebih dahulu. Karena tak mempunyai uang sepeser pun, akhirnya ia berusaha menghubungi beberapa pihak di Jakarta agar dapat meminjamkan uang kepadanya untuk mengganti uang tiket ongkos kepulangan sahabatnya itu. Tidak mudah rupanya mencari uang untuk menggantikan uang kawannya tersebut, sekalipun akhirnya ada juga dari orang yang dihubunginya di Jakarta yang mau memberikan uang kepadanya untuk keperluan itu.

Di Rubath Zabid, berbeda sekali kondisinya dengan Rubath Tarim. Kalau di Rubath Tarim, ada pondokan dan makanan, sementara di Rubath Zabid yang ada hanya tempatnya saja. Kelihatannya Rubath Zabid memang cenderung sudah tidak terurusi lagi. Setiap hari ia makan di tempat itu juga, kemudian jalan sendiri ke rumah para guru. Terkecuali salah seorang gurunya, yaitu Syaikh Muhammad ‘Izzy yang setiap hari datang ke Rubath.

Ia mengalami kehidupan yang sangat payah di Rubath tersebut. Tapi subhanallah, sekalipun seringkali harus menahan tidak makan, yang namanya rizqi itu memang selalu ada. Allah SWT memang tak akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh berusaha dalam kebaikan.

Saat itu ada seorang anak kecil yang mungkin memperhatikan dirinya. Dari rumah tempat tinggalnya, terkadang ia membawakan makanan pada sebuah mangkuk dari seng. Makanannya itu dari bahan sejenis gandum dengan ada rasa sedikit kecut. Karena sering menahan lapar, maka saat si anak kecil itu membawakan makanan kepadanya, rasa dari makanan tersebut nikmatnya luar biasa. Mungkin kalau di Indonesia, makanan itu tidak termakan olehnya.

Di Rubath Zabid itu, sebenarnya ada juga yang masak dengan biaya urungan sesama santri yang tinggal di sana. Tapi karena ia tidak pegang uang sama sekali, ia tidak ikut urungan. Setelah beberapa lama, akhirnya ada juga yang memperhatikan kondisinya itu dan menaruh belas kasihan. Bahkan karena itu, akhirnya keberadaannya memberi manfaat kepada santri-santri lainnya yang ada di Rubath tersebut.

Kisahnya bermula dari informasi yang disampaikan kepada tiga pabrik roti yang letaknya tidak jauh dari Rubath. Kepada pemilik tiga pabrik roti tersebut diinformasikan, bahwa saat itu ada dua pelajar dari Indonesia yang kondisinya serba berkekurangan. Rupanya mereka kasihan dan menaruh simpati kepadanya. Akhirnya setiap hari, ia dan kawannya dipersilahkan mengambil roti kesana setiap hari. Setiap habis maghrib, ia berangkat ke pabrik roti itu, mengetuk pintu, mengucapkan salam, kemudian berdiri di pabrik roti tersebut. Pokoknya, hampir seperti yang dilakukan para pengemis saja. Mereka pun sudah paham dan kemudian segera memberikan roti kepadanya. Sekalipun yang datang cuma berdua, ia dan kawannya, tapi biasanya mereka memberi hingga sepuluh potong roti. Karena itu, kawan-kawan santri yang ada di Rubath pun akhirnya mendapatkan roti juga dari pemberian itu. Untuk sarapan dan makan malam, ia selalu makan roti hasil pemberian ketiga pabrik roti tersebut. Kalau makan siang, baru ia makan nasi bersama-sama di dalam Rubath.

Selain masalah makanan, ia juga kerepotan pada masalah ketersediaan air. Bila ingin mandi, ia hanya dijatahi 3 liter air dan untuk wudhu 1 liter air. Bangunan kamar mandinya pun setengah badan. Alhamdulillah, tidak seberapa lama ia di sana, ada orang yang berkenan membantu untuk membangun kamar mandinya itu hingga jadi benar-benar tertutup.

Walhasil, pada awalnya ia memang membayangkan beratnya hidup sewaktu akan berangkat ke Tarim. Sesampainya di Tarim ternyata kehidupan yang dihadapi tidak sesulit yang ia bayangkan. Tapi sewaktu ia sampai di Zabid, bayangan pertamanya tentang kesulitan hidup muncul kembali menjadi kenyataan.

Sewaktu di Hadhramaut, tubuhnya cukup gemuk. Di Zabid, ia menjadi langsing, demikian ia mengisitilahkannya. Itu dikarenakan ia banyak berjalan kaki hingga berkilo-kilo meter jaraknya untuk menuju rumah para guru. Tapi rupanya ia menikmati kondisi itu. Sekali lagi ia merasa, pengaruh ajaran yang diterimanya sewaktu di Martapura yang banyak membicarakan adab dan menekankan aspek tasawuf, menjadi bekal yang sangat berharga baginya.

Sehari, 8 sampai 9 Guru

Kepada Syech Muhammad ‘Izzy, ia membaca kitab fiqh Ibn Qasim dan kitab ushul fiqh Al-Waraqat. Di luar itu, ia keluar mendatangi rumah para ulama di sana. Di kota Zabid, mayoritas ulamanya bermadzhabkan Syafi’i. Begitu juga para ulama tempat ia menimba ilmu. Ada salah seorang di antaranya yang bermadzhab Hanafi, yaitu Syaikh Asad Hamzah Al-Awsi. Tapi karena keluasan ilmu Syaikh Asad Hamzah Al-Awsi, ia dapat berfatwa dalam dua madzhab, Hanafi dan Syafi’i.

Di Zabid, ia benar-benar memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin. Ia sadar, bahwa ia tak akan bertahan lama di kota Zabid ini. Untuk itu, setiap kali ia mulai bertemu dengan mereka dan meminta waktu untuk belajar kepada mereka, ia selalu meminta agar tidak memulai pembacaan kitab dari awal, tetapi kelanjutan dari bacaan yang telah dibaca di Rubath Tarim. Dalam satu harinya, ia bisa mendatangi delapan hingga sembilan guru.

Di antara guru-gurunya sewaktu di Zabid adalah Syekh Muhammad bin Ali Al-Baththah, yang merupakan dzurriyah dari pengarang kitab Kawakibudduriyah, Syekh Muhammad Sulaiman Asy-Syarafi Al-Hasani, Syekh Ali Muhammad Abdullah Sulaiman Washil Al-Hasani, Syekh Sa’id Dabwan Al-Abdali, Syekh Muhammad Al-‘Imbari Al-Ahdal (keluarga ‘Imbari di kota Zabid adalah keluarga yang memegang sehelai rambut Rasul yang mereka dapatkan dari Turki yang karena itu di antaranya kota Zabid banyak diziarahi). Guru-gurunya tersebut adalah para mufti di kota Zabid. Selain itu, ia juga mendatangi sejumlah pemuda alim di kota Zabid dan belajar dari mereka. Dari para gurunya itu, ia mendapatkan ijazah tertulis pada setiap kitab yang ia baca.

Ia juga sempat mendatangi Baitul Faqih dan Murawa’ah, suatu daerah yang terletak berdekatan dengan kota Zabid. Para ulamanya di sana sangat bersahaja. Sekalipun ternyata mereka adalah para alim besar, namun cara berpakaiannya tidak berbeda dengan warga biasa lainnya. Ia bertabarruk kepada mereka dengan meminta ijazah dan sanad kitab dari para ulama di sana.

Kembali bersama Habib Salim

Setelah sekitar enam bulan di kota Zabid, ia melanjutkannya Baidha’, masih di wilayah Yaman Utara. Selama sekitar empat bulan ia tinggal di Rubath Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar, tempat Habib Umar bin Hafidz dulu menimba ilmu. Rubath ini sekarang diteruskan oleh anak-anaknya, yaitu Habib Husain (putera paling tua), Habib Zain, dan Habib Ibrahim (putera paling bungsu). Kepada Habib Husain ia membaca kitab Bidayatul Hidayah sedangkan kepada Habib Ibrahim ikut pada majlis rauhahnya.

Di Baidha’, ia juga membaca di antaranya kepada Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Mardam, dan Syaikh Abdullah Syu’aibi. Ia mendapatkan ijazah dari para gurunya itu dan mendapatkan sanad-sanad kitab dari mereka. Sewaktu di Baidha’, sekalipun ia tetap dalam kondisi tidak mempunyai uang, tapi kehidupannya tidak sesulit sewaktu di Zabid. Kesehariannya hampir seperti di Rubath Tarim. Makanan dan sebagainya disediakan dari pondok. Bedanya, di Rubath Al-Hadar ini, rekan-rekan pelajarnya banyak yang berasal dari Somalia.

Suatu saat, haul Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar diperingati di Yafi’. Maka ia pun bermaksud pergi ke Yafi’ untuk menghadirinya. Di Yafi’ ia juga hendak berziarah kepada seorang ulama yang diakui kewaliannya, yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Hariri. Habib Salim Asy-Syathiri sendiri mengatakan bahwa Syaikh Al-Hariri ini acap berjumpa dengan Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad secara yaqzhatan. Subhanallah, di dalam peringatan haul di Yafi’ itu ia berjumpa dengan Habib Salim yang baru saja pulang dari kepergiannya yang cukup lama ke kota Madinah.

Sewaktu di Yafi’, sekalipun singkat, akhirnya ia bersempatan membaca kitab kepada Syaikh Al-Hariri dengan niat tabarrukan. Ia sendiri di Yafi’ cuma dua hari, karenanya ia sengaja mengambil kesempatan-kesempatan seperti itu. Ia membaca kitab Muqaddimah fi Syarhil Burdah lil Bajuri.

Sewaktu peringatan haul, Syaikh Al-Hariri juga diminta berbicara. Di antara kata-katanya yang sangat berkesan baginya dan selalu diingatnya adalah saat Syaikh Al-Hariri mengatakan, “Bahwa jika kecintaan kepada keluarga Rasulullah SAW benar-benar tertanam di hati seseorang, maka jangankan kepada para sahabat Nabi SAW, kepada seorang muslim yang paling rendahpun ia tak akan pernah mencaci.” Syaikh Al-Hariri adalah seorang ulama yang bagaikan mabuk cinta kepada Nabi. Dari waktu ke waktu, lisannya terus menerus menyebut nama Rasulullah SAW.

Selesai acara haul, Habib Salim mengajaknya kembali bersama ke Tarim. Jadi, sewaktu Habib Salim berangkat ke Madinah, ia berangkat pula ke Zabid. Sepulangnya Habib Salim dari Madinah, ia ikut pulang bersama Habib Salim ke kota Tarim. Dua karton kitab miliknya beserta tas besar yang berisi perlengkapan pribadinya diikatkannya di atas mobil yang ditumpanginya bersama Habib Salim tersebut.

Perjalanan pulang ke kota Tarim bersama Habib Salim menjadi perjalanan yang sangat mengesankan baginya. Sepanjang perjalanan di atas mobil, ia perhatikan Habib Salim selalu melaksanakan shalat sunnah. Di sepanjang perjalanan, Habib Salim juga selalu menyempatkan diri menziarahi maqam-maqam para ulama yang dilewati, seperti di Aden, Mukalla, Ta’iz, hingga sampai kembali di kota Tarim.

Kepulangannya kembali ke kota Tarim saat itu terjadi pada bulan Rabiul Awwal. Beberapa bulan lamanya ia kemudian meneruskan kembali pelajaran-pelajarannya dengan Habib Salim di Rubath Tarim. Hingga pada bulan Ramadhan tahun itu juga, ia kembali ke Indonesia.

Kalau di total waktunya, pengembaraan keilmuannya di luar negeri memakan waktu sekitar empat tahun. Tiga tahun di Hadhramaut dan setahun di luar Hadhramaut. Namun waktu yang “cuma” empat tahun itu benar-benar telah dimanfaatkannya secara maksimal. Awalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya dalam waktu dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah membawanya berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman. Perjalanan panjangnya itu kini menjadi buah yang menjadi bekal baginya dalam mengabdi pada Pondok Pesantren Darun Nasyi’in, peninggalan kakeknya tercinta.




Read more...

Habib Jindan bin Novel Bin salim Bin Jindan

Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.

Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.

Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.

Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.

Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.

Berkah Ulama dan Habaib

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.

Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba'bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.

Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.

Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami'at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.

Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.

Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.

Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.

Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.

Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.

Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.

Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.

Sumber Inspirasi

Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.

Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.

Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”

Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba'alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.

Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”

Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.

Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.

Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.

Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.

Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.

“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan. AST




Read more...

Habib Umar bin Hafidz

Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.

Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

(www.majelisrasulullah.org)


Read more...

Minggu, 26 April 2009

Penghapusan Poligami di Tunisia dan Turki


Poligami meski tidak dilarang secara mutlak dalam syariat Islam, namun memiliki persyaratan yang sangat berat untuk dipenuhi. Itulah sebabnya di beberapa negara Islam praktik poligami diperketat. Bahkan baru-baru ini, Tunisia dan Turki sudah resmi "menghapus" poligami

Hal ini pun diapresiasikan oleh sejumlah kalangan aktivis feminis. Seperti Jamila Hussain, Dosen Hukum Islam Universitas Teknologi Sydney (UTS). Dalam acara diskusi terbuka yang mengangkat topik "Syariah dan Hukum Keluarga Australia" di Fakultas Hukum Universitas Queensland (UQ), Brisbane, Kamis kemarin, Jamila Hussain menilai positif keputusan Tunisia dan Turki yang melarang sepenuhnya praktik poligami.

"Meski poligami dibolehkan bagi pria muslim yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, dengan alasan yang sangat kuat untuk menikahi perempuan lain, praktiknya ini sangat sulit dijalani. Dan kalau pun ada yang berhasil menjalankan, tak jarang menimbulkan konflik antarkeluarga, baik fisik maupun psikis. Itulah sebabnya, langkah yang diambil oleh Tunisia dan Turki sangat bagus, untuk mencegah terjadinya konflik dalam rumah tangga," jelas Jamila Hussain yang pernah menulis buku Islam Its Law and Society.

Selain itu, Jamila Hussain pun membahas masalah perkawinan beda agama dalam Islam. Meski jenis perkawinan seperti ini diperbolehkan -khusus bagi pria muslim yang menikahi perempuan ahlul kitab (Yahudi dan Kristen)- namun sangat rentan terhadap konflik.

Kemudian topik lain yang tak kalah menariknya pada acara diskusi yang menghadirkan akademisi, imam masjid, dan pengacara muslim dan non muslim Australia itu juga membahas masalah migran dan pengungsi muslim di Australia, warisan, praktik agama dan pendidikan, serta produk keuangan dan ekonomi Islam.

Acara yang dipandu langsung oleh pakar hukum Islam UQ, Ann Black itu juga menghadirkan beberapa pembicara yang berkompeten pada bidangnya, seperti Rob Lachowicz (akademisi Universitas Griffith), Rafik Sabdia, dan Ishaq Burney (pengacara), serta Dr Tariq Syed (akademisi dan dosen Universitas Griffith). SEL dari berbagai sumber.


Read more...

Kembali kepada Ketiadaan

Pada awalnya alam semesta ini tiada, dan akan kembali kepada ketiadaan. Maka yang tersisa hanyalah harapan agar kelak kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah.


Kapan kiamat? Tak seorang pun tahu. Bahkan ketika ditanya oleh Malaikat Jibril kapan tibanya hari kiamat, Rasulullah SAW menegaskan, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”


Tapi, percaya atau tidak, ada ilmuwan yang memprediksi, hari kiamat bakal terjadi pada tahun 2012. Tiga tahun lagi!


Anda boleh terperanjat, atau tertawa karena tidak percaya. Tapi, itulah yang diprediksi oleh Lawrence E. Joseph, ketua Dewan Direksi Aerospace Consulting Coorporation di New Mexico, Amerika Serikat, dalam bukunya, Apocalypse 2012: An Investigation Into The End of Civilization, yang diterjemahkan menjadi Kiamat 2012, Investigasi Akhir Zaman, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Dalam buku yang terbit dua tahun lalu dan menjadi best seller di AS itu, Lawrence, yang asal Lebanon, mengungkapkan secara ilmiah kemungkinan terjadinya hari kiamat pada tahun 2012.


Selain Lawrence E. Joseph, selama ini ada juga beberapa orang yang berusaha memprediksi atau meramal kapan kiamat bakal terjadi. Bahkan beberapa tahun lalu, sejumlah penganut Kristen Protestan dalam kelompok “Pondok Nabi” di Bandung sudah siap-siap menyambut bencana dahsyat yang katanya (akan) jatuh pada hari Senin, 10 November 2003.


Yang paling spektakuler ialah mitologi yang sudah ribuan tahun membudaya di kalangan suku bangsa Maya di Yucatan, Guetemala, Amerika Latin, bahwa kiamat bakal terjadi pada tanggal 21 Desember 2012, sebagai “berakhirnya sang waktu”.

Suku bangsa yang berperadaban tinggi itu mempunyai tradisi keilmuan dalam ilmu falak. Dalam kalender mereka tercatat bahwa sistem galaksi tata surya kita sedang mengalami the great cycle (siklus besar) yang berjangka 5.200 tahun lebih, dari dari 3113 SM sampai 2012 M.

Dalam siklus besar ini, tata surya dan bumi bergerak melintasi sinar galaksi (galactic beam) yang berasal dari inti galaksi, dengan diameter secara horizontal sepanjang 5.125 tahun bumi. Dengan kata lain, jika bumi melintasi sinar tersebut akan memakan waktu selama 5.125 tahun.


Ramalan para pakar ilmu falak suku bangsa Maya itu hampir sama dengan ramalan di kalangan suku bangsa Hopi di Mesir kuno dan beberapa suku bangsa di zaman purba lainnya. Dalam kitab suci Cina, I Ching, juga disebut akan terjadinya bencana besar di tahun 2012.

Ramalan serupa juga diprediksi oleh beberapa biksu di Tibet. Menurut mereka, awal tahun 2012 merupakan “waktu paling mendebarkan” bagi umat manusia, karena ketika itu akan terjadi beberapa fenomena alam yang sangat aneh. Namun, bumi akan terselamatkan oleh sebuah kekuatan besar yang kasatmata, sehingga peradaban tidak sepenuhnya musnah.

Di abad modern ini juga ada prediksi serupa. Misalnya, peringatan salah seorang tokoh spiritual Yahudi, Titzchak Qadduri, yang menyerukan agar kaum Yahudi segera meninggalkan daratan Amerika Serikat, karena tak lama lagi sebuah komet raksasa dari luar angkasa tengah meluncur dan bakal menubruk daratan negara adidaya itu. Bencana mahadahsyat seperti itu pulalah yang terungkap dalam buku Kiamat 2012.

Bencana itu, antara lain, siklus aktivitas matahari yang memuncak di tahun 2012, yang mengakibatkan suhu panas yang luar biasa. Apalagi selama ini atmosfer bumi sudah menipis dan bolong di beberapa bagian. Dahsyatnya panas bumi secara radikal itu juga disertai melelehnya benua es di kedua kutub, disertai badai dan topan yang sangat dahsyat.


Bersamaan dengan itu, medan magnet bumi sebagai penahan utama bagi bumi terhadap radiasi sinar matahari mulai retak atau bolong. Bahkan ada yang sampai seluas daratan California. Sementara pergeseran kutub utara dan selatan berlangsung, sehingga membingungkan umat manusia. Yang mengerikan, tata surya kita kini tengah memasuki medan awan energi antarbintang, sehingga mengaktifkan dan merusak keseimbangan matahari dan atmosfer planet-planet lain.

Ketika bumi akan memasuki awan energi tersebut pada tahun 2012 hingga 2020, terjadilah bencana yang sangat dahsyat, sehingga melenyapkan dua pertiga populasi umat manusia.

Janji Allah
Benarkah semua itu? Dalam Islam hari kiamat diyakini sebagai takdir Allah SWT yang pasti bakal terjadi, tapi kita tak pernah tahu kapan waktunya. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pun tak tahu kapan kiamat itu bakal terjadi.

Suatu ketika, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah SAW dengan menyamar sebagai seorang lelaki dusun.
“Kapan kiamat (as-sa'ah) akan tiba?” tanya Jibril. “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya,” jawab Rasulullah SAW. Jibril pun lantas mengisyaratkan bahwa hari kiamat adalah kejadian yang sudah pasti, namun hanya Allah SWT yang mahatahu.

Dalam Al-Quran kiamat disebut dengan beberapa istilah. Selain as-sa’ah, ada juga al-qari’ah (kejadian yang mengguncankan), al-zalzalah (gempa, bencana, turbulensi), al-haidzil akbar (guncangan dahsyat). Ayat Al-Quran yang mengungkapkan perihal kiamat pun berjumlah puluhan, dan semuanya memperingatkan kedahsyatan dan kengeriannya.

Kehancuran alam semesta digambarkan secara jelas: benda-benda angkasa bertabrakan, ada yang terapung-apung seperti awan, suasana pun total gelap gulita. Berakhirnya alam semesta ini bersamaan dengan berawalnya kehidupan baru di akhirat.

Dalam surah Al-Qiyamah ayat 6-15 dikisahkan, “Bilakah hari kiamat itu? Apabila mata terbelalak ketakutan, dan bulan telah hilang cahayanya. Dan bila matahari dan bulan bertabrakan. Pada hari itu manusia bertanya-tanya: Ke manakah tempat melarikan diri? Sekali-kali tidak, tidak ada tempat berlindung! Pada hari itu hanya Tuhanmulah tempat kembali. Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah mereka kerjakan dan apa yang dilalaikannya. Dan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun mereka mengemukakan berbagai alasan.”

Simak pula surah Muhammad ayat 18, “Maka tidaklah mereka tunggu-tunggu melainkan tibalah hari kiamat dengan tiba-tiba. Karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.”

Datangnya hari kiamat memang sangat menakutkan, terutama bagi mereka yang ingkar, tak beriman. Sebaliknya, bagi mereka yang beriman, kedatangan hari kiamat bukanlah masalah, sebagaimana disebut dalam firman surah Al-Anbiya ayat 103-104, “Kedahsyatan mahahebat itu tak akan menggemparkan orang-orang beriman. Mereka akan disambut oleh para malaikat, ‘Inilah hari yang dijanjikan (Allah SWT) kepadamu.’ Pada hari itu Kami menggulung langit seperti menggulung lembaran kertas. Sebagaimana Kami memulai setiap kejadian, begitu pula Kami mengulangi kejadian itu sebagai suatu janji. Sesungguhnya Kami memenuhi janji itu.”

Tanda-tanda menjelang Kiamat
Jadi, kapan kiamat tiba? Tak seorang pun tahu. Namun, Allah SWT sedikit mengungkapkan tanda-tandanya saja, sebagaimana terbetik dalam surah Al-Hajj ayat 1-2, “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kiamat itu sangatlah dahsyat. Pada hari itu akan kamu lihat para perempuan yang menyusui lupa anak susuannya, dan perempuan hamil akan keguguran janin yang dikandungnya. Semua manusia pun panik. Sesungguhnya mereka bukan panik, melainkan (karena) siksa Allah yang sangat keras.”

Tanda-tanda hari kiamat juga diberitakan dalam surah Al-Waq’iah ayat 1 sampai 6, “Apabila terjadi hari kiamat, tidak seorang pun dapat berdusta tentang kejadiannya. Kejadian itu merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain). Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, jadilah ia debu yang berterbangan.”

Sementara itu, Rasulullah SAW juga mengisyaratkan tanda-tandanya, misalnya dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas. Misalnya, ketika nafsu birahi menjadi tumpuan, pelaku dosa dipilih jadi pemimpin, sulit membedakan yang salah dan yang benar, kebohongan menjadi kepastian, pembayaran zakat dianggap beban, orang beriman dianggap kuno dan nista, ada kebobrokan tapi orang tak mampu berbuat sesuatu, hujan turun di luar musim, homoseks dan lesbian menjadi gaya hidup, peran kaum wanita terlalu dominan, anak-anak mendurhakai orangtua, kecurangan terjadi dalam persahabatan, orang berlomba dalam kemewahan, berbuat dosa dianggap remeh, masjid dipenuhi hiasan keindahan, orang yang beribadah tanpa ketulusan, saling benci tumbuh di hati kaum muslimin, Al-Quran dicetak dengan huruf-huruf emas tapi tidak dibaca apalagi diamalkan, riba merajalela, darah manusia tak ada artinya, ibadah haji dianggap sebagai wisata, para hartawan sibuk memburu harta sementara kaum dhu’afa sibuk mengharapkan belas kasihan.

Tanda-tanda yang lain dengan cukup jelas juga diberitakan dalam sebuah hadis riwayat Hudzaifah bin Asid al-Ghiffari, “(Suatu hari) Rasulullah SAW datang ketika kami berdiskusi tentang hari kiamat.
Beliau bertanya, ‘Apa yang kalian bahas?’
Kami menjawab, ‘Sedang membahas hari kiamat.’

Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya kiamat tidak akan terjadi sampai umat manusia menyaksikan tanda-tandanya. Yakni, membubungnya asap tebal, munculnya Dajjal, keluarnya binatang-binatang dari perut bumi, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, turunnya Isa ibn Maryam, munculnya Ya’juj dan Ma’juj, terbenamnya bumi di sebelah timur, barat, dan di Semenanjung Arabia, dan munculnya api dari Yaman yang akan menggiring umat manusia ke Padang Mahsyar.

Menurut Dr. Bashiruddin Mahmud, pakar fisika dan direktur proyek nuklir Pakistan, dalam buku Mechanics of the Doomday and Life after Death, the Ultimate Fate of the Universe through the Holy Quran (1987), Dajjal bisa dimaknai sebagai kemampuan teknologi tinggi umat manusia yang dipergunakan untuk kejahatan.

Sementara pengertian dabbah seperti yang disebut dalam hadits adalah binatang melata hasil bioteknologi tinggi umat manusia, seperti teknologi kloning. Adapun pengertian “matahari akan muncul dari barat” tak lain karena deraan bumi akibat serangan meteor dahsyat setiap 26.000 tahun, sehingga memalingkan wajah dunia, karena bumi akan didorong dari orbitnya, sebagaimana terungkap dalam surah Al-Haqqah ayat 13-15, “Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur, pada hari itu terjadilah kiamat.” Setelah itu, matahari muncul dari barat.

Bersamaan dengan itu, terjadi kontraksi bumi karena perputarannya yang semakin cepat. Maklum, sejak lima miliar tahun lalu, bumi telah mengalami penyusutan hingga 1/100 dari volumenya yang sekarang ini. Lalu, temperatur bumi pun semakin panas sehingga terjadi ledakan bumi yang mahadahsyat.

Kini, hampir semua pertanda akan datangnya kiamat itu sudah terjadi. Misalnya, kebakaran di Hijaz (Semenanjung Arabia) pada tahun 645 Hijriyyah atau sekitar abad 11 Masehi.

Sementara Dr. Rashad Khalifah, pakar matematika dan komputer asal Mesir dalam bukunya The Computer Speaks, God’s Message to the World (1985), mencoba menghitung misteri kiamat dengan mengkaji surah Al-Hijr ayat 87: Sab'an minal matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang). Ia menyimpulkan, kiamat akan tiba pada tahun 1709 Hijriyyah atau sekitar 285 tahun lagi. “Tapi, kebenaran mutlaknya hanya pada Allah SWT. Karena hari kiamat merupakan suatu keyakinan, bukan hal yang penting mengetahui kepastian datangnya,” katanya.

Gambaran tentang Akhir Dunia
Anda masih penasaran kapan Malaikat Israfil akan meniup sangkakala di Padang Mahsyar sebagai hari “H” kiamat? Ketika kebobrokan moral menjadi semacam kiblat, ketika kekufuran, kekejaman, dan kezhaliman bersimaharajalela, ketika itulah Allah SWT memerintahkan Israfil meniup sangkakala yang menggelegar di seantero alam semesta. Ketika itulah mendadak suhu alam semesta menjadi sangat panas, semua makhluk mati, sementara umat manusia bangkit dari liang kubur untuk dihalau berbondong-bondong ke Padang Mahsyar. Dan tak lama kemudian umat manusia menerima catatan amal mereka diikuti pengadilan Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan umat manusia.

Begitu terdengar kumandang dahsyat sangkakala Israfil, segenap makhluk Allah SWT kaget dan panik. Saat itulah kiamat benar-benar terjadi. Dan yang paling mengerikan ialah ketika matahari berputar terbalik ke arah timur lalu bertabrakan dengan bulan. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Allah Ta’ala akan menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, seraya berfirman: Akulah Maharaja, di manakah semua raja di dunia? Allah SWT lalu melipat langit, mengambil seluruh langit dengan kekuasaan-Nya seraya berfirman: Akulah Maharaja, di manakah orang-orang durhaka, penentang dan sombong?”

Dalam surah Az-Zumar ayat 67-68, Allah SWT berfirman, “(Padahal) bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa saja yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah.”

Gambaran mengenai apa saja yang bakal terjadi di hari “H” kiamat juga diberitakan dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Jurair dari Abu Hurairah.

Setelah Israfil meniup sangkakala dan seluruh makhluk mati, Malaikat Maut pun melapor kepada Allah SWT, “Ya Allah, yang masih hidup hanyalah Engkau, karena Engkau Yang Mahahidup, berdiri sendiri, tidak mati selamanya. Yang juga masih hidup hanya beberapa malaikat, seperti Malaikat Hamlatul ‘Arsy, yang menjaga singgasana Allah, Jibril, Mikail, dan Malaikat Maut.”

Lalu, Allah SWT memerintah Malaikat Maut untuk mematikan Jibril dan Mikail, lalu memerintahkan mematikan Malakat Hamlatul ‘Arsy. Setelah itu Allah SWT memerintah ‘Arsy untuk mencabut sangkakala dari tangan Israfil.

Maka Malaikat Maut pun melapor, ”Ya Allah, semuanya sudah mati. Yang masih hidup hanyalah Engkau, Dzat Yang Mahahidup, dan aku.” Maka Allah pun berfirman, “Engkau adalah salah satu dari makhluk-Ku, maka engkau pun harus mati.” Maka matilah Malaikat Maut, sementara yang hidup hanyalah Allah SWT.

Setelah semua makhluk mati, proses kiamat pun berlanjut. Ketika itu, Allah SWT menghidupkan kembali Malaikat Israfil dan memerintahkannya meniup sangkakala ketiga kalinya untuk menghidupkan kembali semua makhluk yang telah mati.

Waktu antara tiupan pertama dan kedua tidak diketahui. Yang jelas, ketika itu suasana sungguh sunyi senyap, karena semua makhluk mati. Sebuah riwayat mengungkapkan kesenyapan itu. Semua mati, waktu pun tak ada! Menurut Rasulullah SAW, sebagaimana terabadikan dalam hadits riwayat Abu Hurairah, lamanya waktu yang sunyi senyap itu “kira-kira 40”. Tidak dijelaskan, apakah 40 hari, 40 minggu, 40 bulan, 40 tahun, 40 abad....

Dan manakala ruh dikembalikan kepada jasad segenap makhluk, Allah SWT pun berfirman, sebagaimana dikisahkan dalam surah Al-Hajj ayat 7, “Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan. Dan bahwasanya Allah membangkitkan semua makhluk dari dalam kubur.” Lebih mendetail hal itu terungkap dalam surah Ya-Sin ayat 51-52, ”Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya, (menemui) Tuhan mereka. Mereka pun berkata: Aduhai, celakalah kami! Siapa yang membangkitkan kami dari tempat tidur (kubur)? Inikah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan rasul-rasul-Nya?”

Tujuh Golongan yang Dinaungi Allah
Ketika itu, mereka yang beriman dan beramal shalih, terutama para syuhada, tenang-tenang saja. Sebab, mereka tinggal menerima hasil keshalihannya. Tapi manusia kafir, durhaka, berdosa, saat itu benar-benar dirundung malang. Mereka tersiksa oleh suhu yang sangat panas, ibaratnya matahari berada tepat di atas ubun-ubun! Menurut Rasulullah SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, “Sesungguhnya matahari (ketika itu) begitu dekat, sehingga keringat seseorang dapat (meleleh) sampai ke telinga. Mengucurnya keringat yang berlelehan itu tergantung dari amal perbuatan seseorang. Semakin banyak dosanya, semakin banyak keringat yang meleleh.”

Karena semua tergantung dari amal perbuatan, tampang dan perilaku manusia pun bermacam-macam. Ada yang ceria, ada yang bermuram durja. “Pada hari itu banyak wajah berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS ‘Abasa: 38-39). Tapi juga, ”Banyak wajah yang tunduk terhina, kepayahan. Dan mereka inilah orang-orang kafir.” (QS Al-Ghasyiah: 2-4).

Tiada lama kemudian segenap umat manusia dihalau berbondong-bondong ke Padang Mahsyar. Ada yang tenang, tersenyum berseri-seri, tapi ada juga yang ketakutan setengah mati sembari meratap-ratap mohon ampunan. Tapi semuanya sudah terlambat. Hari itu sudah tak ada lagi pertolongan.

Bagaimana keadaan mereka? Rasulullah SAW menggambarkanya dalam sebuah hadits riwayat Turmudzi. Ada tiga golongan manusia: yang berjalan kaki, yang berkendaraan, dan yang ”berjalan” dengan kepala. Ada yang kehausan atau sengsara luar biasa, ada yang telanjang bulat.

Meski begitu, Rasulullah SAW masih sempat menyampaikan kabar baik, bagaimana agar umat manusia terhindar dari siksa dan mendapat perlindungan Allah SWT. “Tujuh golongan umat manusia yang dinaungi oleh Allah di hari kiamat ialah: pemimpin yang adil; pemuda yang mengawali keremajaannya dengan beribadah kepada Allah; laki-laki yang hatinya terpaut pada masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah karena Allah; laki-laki yang ketika dirayu oleh perempuan bangsawan lagi rupawan menjawab, ‘Sungguh, aku takut kepada Allah’; mereka yang bersedekah secara diam-diam sehingga tangan kiri tak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanan; dan mereka yang berdzikir kepada Allah di tempat sunyi dengan mencucurkan air mata.”

Dalam kitab Mukhtasyar Tadzrikatul Qurthuby, Imam Abdul Wahab Asy-Sya’rani menulis, umat manusia yang dikumpulkan di Padang Mahsyar terbagi dalam 10 golongan. Pertama, yang menyerupai monyet (karena suka mengadu domba); kedua, yang menyerupai babi (suka makan barang bathil dan haram); ketiga, yang dihalau dalam keadaan terjungkir, berjalan dengan kepala (suka makan riba); keempat, yang dihalau dalam keadaan buta (curang dalam menerapkan hukum); kelima, yang dihalau dalam keadaan tuli dan tak berakal (senang riya’ dan mengagumi diri sendiri).

Keenam, yang dihalau dalam keadaan mengunyah lidah sendiri, sementara lidahnya terjulur sampai ke dada dan dari mulutnya keluar nanah (orator yang ucapannya berbeda dari perilakunya); ketujuh, yang dihalau dalam keadaan terpotong kedua tangan dan kakinya (suka mengganggu tetangga); kedelapan, yang digiring dalam keadaan tersalib di pokok pohon kurma yang berasal dari neraka (mengajak orang membela penguasa yang tidak jujur); kesembilan, yang dihalau dalam keadaan berbau busuk (gemar berzina dan menilap hak Allah); kesepuluh, yang dihalau dalam keadaan mengenakan pakaian dari ter panas (takabur dan sombong).

Sikap seorang Mukmin
Segamblang apa pun tada-tandaya, baik yang diberitakan dalam Al-Quran, yang terungkap dalam hadits Rasiulullah SAW, maupun dalam prediksi para pakar ilmu pengetahuan atau ramalan suku-suku bangsa kuno tertentu, kiamat tetaplah merupakan misteri. Namun, bagi kaum mukmin, misteri itu justru membuat mereka waspada dan lebih mempersiapkan diri menghadapinya.

Keyakinan pada hari akhir sekaligus juga sebagai ujian bagi umat manusia, siapa yang sanggup beriman dan siapa yang berlalai-lalai. Yang jelas, oleh karena semua makhluk Allah SWT adalah fana, tida abadi, semestinya mereka juga maklum bahwa ada saatnya kelak semuanya bakal berakhir. Karena itu, mereka semestinya pula berpasrah diri (muslimun) kepada Allah SWT, sebagaimana salah satu inti ajaran Islam, “Sesungguhnya kita ini milik Allah, dan akan kembali kepada Allah.”

Bukankah pada awalnya alam semesta ini tiada, dan akan kembali kepada ketiadaan? Maka yang tersisa hanyalah harapan agar kelak kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah, akhir yang baik. Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bihusnil khatimah.... SM, dari berbagai sumber

Read more...

Selasa, 21 April 2009

Laskar Mawar: Kisah para Bidadari Surga dari Palestina


Dalam tekanan penjajahan Israel, telah lama wanita Palestina menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Mereka adalah anak yang menyaksikan ayahnya ditawan, istri yang kehilangan suaminya tanpa jejak, ibu yang menguburkan putranya yang syahid. Akhirnya, mereka menempuh jalan perjuangan baru: meledakkan diri sebagai Laskar Mawar.

Kantor Bulan Sabit Merah di Ramallah bertempat di sebuah gedung tiga lantai bercat putih dengan genting berwarna merah, tak jauh dari pusat kota. Lantai pertama, tempat para petugas menerima panggilan darurat, dilengkapi dengan sebuah sofa dari besi dan kursi-kursi dapur yang mengelilingi sebuah meja kayu rendah yang telah kusam. Di sudut ruangan, sebuah televisi tengah menyiarkan saluran pemerintah Palestina, yang memonitor semua peristiwa di sepanjang Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan menyiarkan berita serta laporan setiap jamnya.

Wafa Idris
Hari itu, ada lima anggota Bulan Sabit Merah yang bertugas menerima panggilan darurat, tiga leleaki dan dua perempuan, yang tampaknya sudah saling kenal dekat. Antara lain, Tared Abed, 27, Ahlam Nasser, 23, Nassam Al-Battouni, 22, Bilal Saleh, 23, dan Wafa Idris, 25 tahun. Mereka terus bercanda.

Dari semua relawan, Wafa-lah yang paling banyak bergerak. Ia bermain-main dengan tali karet besar yang elastis, dan mengayun-ayunkannya seperti ketapel ke arah teman-temannya sambil bercanda.
Wafa adalah seorang wanita muda yang berpostur tinggi dengan rambut hitam panjang, dicat dengan henna. Wajahnya yang bulat dihiasi make-up tipis sehingga matanya yang berwarna gelap dan bibirnya yang menyerupai busur panah itu semakin tampak jelas. Di kepalanya bertengger sebuah topi beludru warna hitam. Ia begitu cantik dan ramah. 

Pernah beberapa wartawan Barat mengajaknya kencan, tapi sebagai muslimah ia menolak ajakan mereka.
Tiba-tiba, televisi menyiarkan gambar seorang lelaki dengan kepala dan wajah terbungkus kafayeh bermotif kota-kotak merah putih. Ia berbicara bahasa Arab, sambil menyandang senapan di salah satu tangannya dan Al-Quran di tangannya yang lain.

Walau semua temannya yang lain terus teratwa dan bercanda, wajah Wafa berubah serius. 
Lelaki di televisi itu mengatakan, dirinya akan berjihad dengan meledakkan dirinya di salah satu wilayah pendudukan Israel. 

Wafa terdiam di kursinya. Ia menghayati setiap patah kata sang calon syahid yang hendak bertempur. Dagunya menengang, sikapnya khidmat, tenang, dan tak bergerak. Sampai lelaki di layar kaca itu mengakhiri pernyataannya dengan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Palestina, teman-temannya, dan keluarganya. 

Setelah pelaku bom bunuh diri itu mengakhiri pidatonya, tiba-tiba Wafa mengangkat tangan kanannya dan melambai.

Sebulan kemudian, di pagi hari, tepatnya 27 Januari 2002, lebih dari seribu wanita Palestina berbondong-bondong datang untuk mendengarkan pidato Yasser Arafat di kampnya di Ramallah. 

Dalam keadaan dijaga oleh para pengawal dan penasihat setianya yang selalu siaga, ia menegaskan bahwa kaum wanita tidak hanya diterima, tetapi juga diharapkan bisa berpartisipasi dalam perlawanan bersenjata menentang pendudukan Israel. “Kalian adalah Pasukan Mawarku, yang akan menghancurkan tank-tank Israel. Syahidah siap sepenuhnya menuju Yerusalem....”

Ia mengulang-ulangi kalimat itu, hingga para pendengar dengan tangan terkepal ke atas turut berteriak, “Syahidah... syahidah... tunggulah Yerusalem.. Akan kami berikan darah dan jiwa kami kepadamu dan Palestina....”

Lalu, sambil membentangkan kedua tangannya ke arah kerumunan wanita dan gadis-gadis muda itu, ia berkata, “Kalian adalah harapan Palestina. Kalian akan membebaskan para suami, para ayah, dan putra-putra kalian dari penindasan. Kalian akan mengorbankan diri sebagaimana kalian senantaisa mengorbankan diri bagi keluarga kalian...”

Maka, tak berapa lama, siang harinya, terdengar berita heroik itu.... Wafa, putri Palestina yang cantik itu, meledakkan dirinya hingga berkeping-keping di tengah kota Yerusalem di sebuah pusat perbelanjaan, menewaskan seorang lelaki Israel, dan melukai 131 orang yang lalu lalang.
Wafa Idris adalah wanita pertama yang meledakkan dirinya. Ia melakukan kamikaze atas nama perjuangan rakyat Palestina. 

Beritanya segera menyebar. Para pengamat politik maupun pakar psikologis pun berlomba mengeluarkan pendapat. Salah satunya Adel Sadew, psikiater yang mengepalai Departemen Psikiatri, Universitas Kairo. Ia menyamakan Wafa Idris dengan Yesus Kristus.

“Mungkin kalian dilahirkan di kota yang sama, lingkungan yang sama, dan rumah yang sama. Mungkin kalian makan dari piring yang sama, atau minum dari cangkir yang sama, air yang mengalir dari nadi-nadi kota suci, dan yang menempatkan seorang anak di rahim Maryam. Mungkin Roh Kudus yang sama telah menempatkan Syahidah Wafa dan membungkus tubuh sucinya dengan dinamit. Dari rahim Maryam, lahir seorang martir yang menghapuskan penindasan, sedangkan tubuh Wafa menjadi pecahan peluru yang menghapuskan keputusasaan dan menjaga tumbuhnya harapan....”

Darine Abu Aisha
Cerita kesyahidan para syahidah tak berhenti sampai di situ. Muncul lagi syahidah-syahidah yang lain. Di antaranya Darine Abu Aisha, 20, gadis manis yang cerdas, mahasiswi Universitas An-Najah, Nablus. Ia anak bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan Mohammad dan Nabila Aisha. 

Suatu hari, di pos pemeriksaan dekat Nablus, ada antrean yang biasanya harus dijalani warga Palestina agar bisa lewat, dan Darine berada di antrean yang tak jauh dari bagian depan, dekat dengan teman baik dan sepupunya, Rashid.

Di sebelah mereka ada seorang perempuan yang menggendong bayi yang sedang terserang demam tinggi. Tentara penjaga tidak mengizinkan perempuan itu lewat terlebih dahulu menuju ambulans dan segera membawa bayinya ke rumah sakit terdekat.

Bayi itu hampir mati, telah membiru karena kurang udara. Walaupun mendengar permohonan dari orang-orang yang menyaksikan tragedi tersebut, tentara-tentara itu bersikeras menolak membuat perkecualian apa pun hingga semua surat selesai diperiksa. Mereka melarang perempuan itu mendahului Darine dan sepupunya.

Darine kemudian menjelaskan kepada tentara-tentara tersebut dalam bahasa Inggris bahwa ia bertindak sebagai juru bicara perempuan itu. Beberapa tentara Israel mulai berbisik dan saling tertawa. Salah seorang mendekati Darine dan berkata bahwa mereka akan mengizinkan perempuan itu lewat jika sepupu Darine, yaitu Rashid, mencium bibir Darine. 

Darine adalah muslimah yang taat. Tentu ia tidak mungkin melakukan itu. Ia berusaha berunding denagn tentara itu dan menjelaskan bahwa ia adalah muslimah yang taat, yang tidak mungkin mengizinkan lelaki yang bukan suaminya menciumnya.

Tanpa peringatan, salah seorang di antara tentara itu merenggut jilbab Darine. Tentu Darine merasa terhina. Tetapi, saat itu, bayi tadi telah sangat kesulitan bernapas, dan ibunya menjerit-jerit. Maka Darine menyuruh Rashid cepat-cepat mencium bibirnya, sehingga bayi itu bisa diselamatkan. Sebagaimana yang telah dijanjikan, mereka mengizinkan perempuan itu dan bayinya menuju ambulans, yang sudah menunggu.
Merasa terhina atas sikap penjajahan Israel tersebut, Darine pun memutuskan untuk melakukan aksi syahid.
Bebepa menit sebelum dia meledakkan sabuk bom di pos pemeriksaan Maccabin dekat Yerusalem, Darine menelepon ibunya untuk meminta maaf karena telah menyelinap keluar rumah tanpa izin, dan baru mengucapkan selamat tinggal. Dalam konteks Palestina saat ini, ucapan “selamat tinggal” identik dengan perpisahan menuju jihad.

Sikap yang tampak sederhana itu, menelepon untuk meminta maaf karena telah menyelinap keluar rumah tanpa izin, begitu mengesankan. Bagi Darine, menyelinap keluar rumah tanpa izin itu lebih buruk, sehingga meminta maaf adalah hal yang lebih penting daripada memberitahukan bahwa ia akan segera berangkat ke jalan menuju surga....

Ibunya berusaha mencegahnya. “Aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Engkau adalah jantung hatiku... jangan kau lakukan itu...”
Tetapi ketentuan Tuhan berkata lain.

Ayat Al-Akhras
Kisah lainnya yang tak kalah heroik dilakukan oleh Ayat Al-Akhras, seorang gadis remaja yang cantik. Sebelum melakukan aksi syahidah, Ayat memberikan pesan. Berbalut busana muslimah hitam, dengan kafayeh khas Palestina, ia membacakan pesannya dengan suara lembut di televisi, dua jam sebelum aksi syahidnya. Ia memulai wasiatnya dengan membaca Bismillah.

“Wahai Al-Quds… wahai Al-Quds… wahai Palestina… wahai Palestina… aku melakukan ini semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dan kepada para penguasa Arab, kalian telah cukup tidur. Bangunlah. Laksanakan kewajiban kalian terhadap Palestina.” Itulah sebagian kutipan pesannya. 
Dengan bahasa Arab yang fasih, Ayat terus membacakan wasiatnya. Akhirnya, ia meneriakkan takbir, “Allahu Akbar!”

Tampaknya ia ingin segera mengakhiri wasiatnya dan sudah tidak sabar lagi ingin melakukan aksinya, menetukan pilihannya untuk menjadi bidadari surga. Tangannya melambai, untuk terakhir kalinya. 
Ayat tumbuh di tengah kisah-kisah agresi Israel dan terusirnya bangsa Palestina dari tanah kelahirannya. Ibunya, Khdra Kattous, dan ayahnya, Mohamme Al-Akhras, lahir dan tumbuh di tenda pengungsian di Jalur Gaza. Orangtuanya tinggal di sana dari perkampungan Arab di dekat Tel Aviv pada akhir perang 1948.

Hari itu, subuh baru saja usai. Ayat Al-Akhras kembali mambaca Al-Quran. Ayat-ayat jihad dibacanya berulang-ulang dengan nada bergetar, sesekali ia berhenti menahan isak tangis.
Menjelang pukul 06.00 waktu Palestina, ia menulis sesuatu di meja belajar. Sejurus kemudian Ayat sudah berseragam dan bergegas ke dapur untuk menemui ibunya.

Kepada ibunya, ia pamit hendak pergi ke sekolah. “Ada tugas tambahan, hari ini boleh jadi merupakan saat terpenting dalam hidup ini. Saya mohon doa restu Ibu,” ucapnya dengan mata berbinar.
Ibunya tersekat, dia sedikit bingung, heran, dan kaget melihat tingkah putrinya. “Semoga Allah selalu melindungi dan merahmatimu, anakku. Tapi, bukankah Jum’at hari libur?”

“Hanya doa Ibu yang nanda harap,” jawabnya. Ayat tak lagi berkata-kata, ia hanya tersenyum, mencium tangan sang ibu, lalu memeluknya erat. Kemudian ia menarik tangan adiknya, Sama’ah, 10. Mereka pun sama-sama bergegas pergi ke sekolah.

Beberapa jam kemudian, pukul 10.00 waktu setempat, Radio Israel memberitakan ledakan bom di Supermarket Nataynya, dekat Yerusalem. Peristiwa ini menyebabkan tiga orang tewas dan lebih dari 40 orang luka-luka. Jantung ibunda Al-Akhras berdegup kencang menyimak kabar itu. “Jangan-jangan dia…,” bisiknya saat itu.

Firasatnya menguat manakala dia mendapatkan Samaah pulang sendirian sambil terisak-isak. Dia tak tahu persis ke mana sang kakak pergi. Ayat, kata dia hanya berpesan, “Jangan cemas dan takut, Allah selalu bersama orang-orang beriman, sampaikan salam buat semuanya, dan berdoalah, mudah-mudahan Allah memberi pengampunan dan kemenangan!”

Di kamp pengungsian, ibunda Al-Akhras cemas dengan nasib anaknya. Bathinnya bertanya-tanya, “Ke mana dia pergi? Apakah dia sudah mewujudkan impiannya menjadi syahidah?”

Pertanyaan lain bermunculan di benaknya. “Bagiamana dengan impiannya yang lain? Soal pinangan, rencana pernikahan, gaun pengantin yang sudah dijahitnya sendiri? Bukankah dia juga bercita-cita untuk melahirkan anak-anak, kemudian membina mereka menjadi mujahid-mijahid tangguh?”

Sementara pikiran bertanya tanya, qalbunya mendapat isyarat bahwa calon mempelai itu telah syahid dalam aksi bom.

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai syahidah. Mudah-mudahan dia juga bisa menjadi pengantin Palestina yang bisa melahirkan kehormatan dan kemerdekaan bagi umat dan bangsanya,” demikian ucapan sang ibu ketika mendapat kepastian beritanya.

Sebelumnya, Issa Farah dan Saa’id, dua sahabat Al-Akhras, gugur diterjang peluru helikopter Israel.
Ayat Al-Akhras, yang lahir 20 Februari 1985 di Kamp Dheishes, tercatat sebagai siswa kelas tiga sekolah menengah atas. Ia, menurut ABC News, termasuk anak yang rajin belajar dan cerdas. Sampai saat-saat menjelang syahidnya, ia masih rajin menasihati teman-temannya untuk terus belajar dan belajar. 

“Penguasaan ilmu dan teknologi amat penting, dan diperlukan untuk mendukung perjuangan kita, apa pun bentuknya.”

Hayfaa, teman baiknya, berujar, “Dia selalu menasihati kami bahwa belajar harus tetap berjalan meski bahaya dan rintangan mengancam di sekeliling kita.” 

Tentang jihad, Ayat berkata, ”Jihad itu kewajiban setiap muslim, termasuk wanita. Mengapa kita harus membiarkan nyawa kita terenggut sia-sia oleh kebiadaban Zionis Israel?” Kematian seorang mujahid, kata dia, akan membangkitkan keberanian mujahid-mujahid lainnya, bukan sebaliknya.

Meski tahu bahwa syahidah adalah cita-cita tertinggi anaknya, ibunda Al-Akhras tetap saja merasa kehilangan. Dengan air mata berlinang, dia mengulang kata-kata sang anak ketika berdiskusi soal kewajiban jihad bagi setiap muslim warga Palestina.

“Apa nikmatnya hidup di dunia ketika kematian selalu mengintai kita? Mana yang lebih indah, mati dalam ketidakberdayaan dan kehinaan, atau gugur di medan jihad?”

Sama’ah, adik sepupu sekaligus teman terdekat Ayat, merasakan hal yang sama. Sambil menangis dia berkisah tentang saat-saat terakhir bertemu dengannya. “Saya lihat cahaya di mukanya dan rona kebahagiaan tak pernah dilihat sebelumnya.” 

Saat itu, kata Sama’ah, sambil memberi sepotong cokelat manis Ayat berkata lirih, “Shalat dan doakan agar Kakak sukses melaksanakan tugas suci ini.” “Tugas apa?” Sama’ah bertanya. 

“Hari ini kamu akan mendengar berita baik. Mungkin inilah hari terbaik dalam hidupku. Inilah hari yang lama aku nantikan. Tolong sampaikan salam hormatku pada Akh Shaadi,” tutur Ayat sambil memberikan secarik kertas.

Shaadi Abu Laan, 20, calon suami Ayat, termangu beberapa saat ketika kabar itu sampai kepadanya. Dia nyaris tak percaya Ayat pergi begitu cepat mendahuluinya. “Juli ini,” kata Shaadi, “kami sudah berencana untuk resmi berumah tangga, begitu Ayat lulus ujian. Kami akan menempati rumah sederhana yang belum didekor.”

Mereka sudah satu setengah tahun ber-khitbah (saling meminang). Keduanya bahkan telah menyiapkan nama “Adiyy” untuk bayi pertamanya. “Allah ternyata punya rencana lain,” ucap Shaadi. “Semoga kami bisa berjumpa di surga kelak, dia mencintai agamanya lebih dari apa pun.”Ya, Ayat Al-Akhras lebih memilih menjadi bidadari di surga. Semoga Allah SWT mengabulkannya. SM



Read more...

Followers

About Me

I am now a college boy in STMIK Balikpapan

Text

GEOTOOLBAR

  ©Template by Dicas Blogger.